JALUR GAZA (SuaraMedia News) – Al Jazeera English kemarin (27/12) menyiarkan sebuah laporan berita mengenai peringatan tahun pertama Perang Gaza. Ayman Mohye El Din, reporter Al Jazeera di Jalur Haza yang meliput perang tahun lalu dan telah bekerja untuk Al Jazeera selama 2 tahun, mempersiapkan sebuah laporan berita dari Gaza.
Liputan berita yang disusun oleh Mohye El Din berfokus pada faksi militer Palestina dan kemampuan mereka dalam menghadapi para serdadu Zionis, satu tahun berselang setelah Perang Gaza.
Yang mengejutkan, gaya pemberitaan dalam laporan tersebut betul-betul mengadopsi pemberitaan Fox News. Ayman banyak memberikan penekanan pada kelompok penguasa Gaza, Hamas, dan sayap militernya, brigade Izzuddin Al Qassam, dan banyak membahas mengenai roket-roket yang dibuat di Gaza.
Dalam pemberitaan tersebut, ditunjukkan mengenai sekelompok pria yang memproduksi roket-roket buatan sendiri. Ditunjukkan pula mengenai sebuah tempat seperti pabrik yang menyimpan sejumlah ujung roket, dan ada sejumlah mesin pemutar yang dioperasikan.
Jika ada pembaca yang tidak tahu menahu mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Palestina, maka dengan membaca laporan berita tersebut, orang-orang akan menyangka bahwa Palestina adalah sebuah negara yang memiliki wujud nyata dan memiliki kekuatan militer yang bisa menyiapkan pasukan untuk berperang.
Pemberitaan tersebut betul-betul kehilangan aspek profesionalisme dan dapat dikatakan menyesatkan. Hal ini terjadi karena pengabaian fakta-fakta yang dapat menjelaskan hal-hal yang berada di balik pembuatan roket-roket tersebut.
El Din juga tidak pernah menyebutkan bahwa roket-roket tersebut merupakan roket buatan sendiri, hanya menyebut dengan kata roket. Hal ini berpotensi menimbulkan kesan yang salah kepada para pembaca mengenai asal-usul dan hasil dari roket-roket tersebut.
Seharusnya disebutkan apa saja yang ditimbulkan oleh roket-roket tersebut dalam 5 tahun terakhir, khususnya dalam perang yang terakhir terjadi. Reporter Al Jazeera tersebut seharusnya menginformasikan dengan jelas bahwa roket-roket tersebut, dalam hal definisi militer, sama sekali tidak efektif karena tidak memiliki kekuatan penghancur yang besar. Dinas keamanan Israel melansir laporan pasca perang yang menyebutkan bahwa hanya ada 4 orang penduduk Israel yang tewas sejak tahun 2005 dari ribuan tembakan roket buatan sendiri tersebut.
Sayangnya, reporter tersebut “lupa” menyebutkan bahwa dari tahun 2001 hingga saat ini, roket-roket Qassam hanya menewaskan 13 orang warga Israel. Padahal dalam Perang Gaza, ada ribuan roket yang ditembakkan. Sebaliknya, lebih dari 1.445 orang penduduk sipil Palestina yang dibantai, 5.000 orang lainnya terlika oleh serangan militer brutal dan mematikan yang dilancarkan Israel.
Hanya ada sedikit warga Israel yang tewas dan sebagian besar diantaranya merupakan prajurit tempur.
Panjang roket Qassam berukuran 79 hingga 200 sentimeter, dengan diameter antara 6 hingga 7 sentimeter. Muatan bahan peledak yang dikandung berkisar antara 500 gram hingga 7 kilogram. Rincian teknis semacam itu seharusnya turut disebutkan dalam pemberitaan. Karena jika tidak, para pembaca akan mengira bahwa roket-roket tersebut sama jenisnya dengan senjata AS yang dipakai dalam perang Afghanistan dan Irak.
Al Jazeera seharusnya menyebutkan dengan jelas bahwa roket-roket tersebut sejatinya tidaklah berarti. Ketika Al Jazeera memberitakan roket-roket tersebut dengan sedemikian rupa, maka laporan berita semacam itu adalah jenis pemberitaan yang telah menyebabkan kematian ribuan orang warga Palestina dan membuat negara terjajah tersebut tidak mencapai apapun dalam kancah politik.
Meski kita tidak bisa bersikap sinis mengenai profesionalisme sang reporter, kita semua harus menyadari dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh laporan berita yang hanya memihak satu sisi semacam itu. Pemberitaan tersebut menggambarkan warga Palestina sebagai orang-orang sibuk yang amat berpengalaman dalam memproduksi senjata, namun tidak menyebutkan mengenai kehidupan sengsara yang dialami warga Gaza dibawah kekangan Israel, dimana kebutuhan pokok untuk menyambung hidup tidak tersedia.
Laporan Al Jazeera tersebut memberikan kesan bahwa rakyat Palestina tidak menderita karena pengurungan Israel yang dilakukan dari hari ke hari, dan justru menunjukkan “pabrik” senjata yang beroperasi 24 jam setiap hari. Selain itu, laporan tersebut mendukung kepalsuan Israel yang disebarkan di media dan menyebutkan bahwa rakyat Palestina menyelundupkan senjata melalui terowongan Rafah.
Ada banyak warga Palestina yang menentang keberadaan roket-roket tersebut, karena dapat dijadikan alasan oleh serdadu Israel untuk meneruskan serangan ke Jalur Gaza.
Berita-berita dengan sudut pandang semacam itu jamak ditemui di Fox News, yang sepanjang waktu berusaha mengesankan faksi-faksi Palestina sebagai pasukan militer yang terorganisir. Fox juga selalu berupaya mengesankan Israel sebagai “korban” dari “serangan roket besar-besaran” Palestina. Pemberitaan semacam itu amat membantu Fox, dan sejalan dengan kepentingan Israel berkenaan dengan roket-roket tersebut.
Israel selalu berkoar di media dan mengatakan bahaw rakyat Palestina menembakkan ribuan roket terhadap warga sipil. Israel tidak pernah menyinggung dampak sebenarnya dari roket-roket tersebut. Demikian halnya dengan Fox News dan Al Jazeera.
Oleh karena itu, tidak akan susah bagi para pakar dan jurnalis untuk mengklasifikasikan Al Jazeera bersama dengan sederetan media yang telah dikendalikan Yahudi. Al Jazeera dan para stafnya merupakan jelmaan baru dari CNN, Fox News, BBC dan Sky News.
Sebelumnya, Haim Saban, mengajukan tawaran kepada pemerintah Qatar dalam upaya untuk membeli setengah dari jaringan satelit Al-Jazeera yang berbasis di Doha.
Surat kabar Mesir al-Mesryoon melaporkan bahwa miliarder Israel itu terlibat dalam negosiasi dengan Emir Qatar, Sheikh Hamad bin Khalifa Al-Thani, atas pembelian parsial outlet media tersebut. Pembicaraan dikatakan dilakukan melalui mediator Mesir.
Berita tersebut muncul di tengah laporan saluran berita Arab yang terbesar dan paling kontroversial di Timur Tengah itu sedang bergulat dengan krisis keuangan yang buruk. Saban pertama kali dilaporkan melakukan negosiasi pembelian setengah dari saham jaringan tersebut pada tahun 2004, setelah mengunjungi emirat dengan mantan Presiden AS Bill Clinton.
Tokoh media terkemuka Israel-Amerika itu telah diduga mengajukan penawaran sebesar $ 5 miliar untuk saluran berita berbahasa Arab populer tersebut, dalam upaya untuk dapat menguasainya, dan untuk menyiarkan pesan pro-Israel sehingga dapat mempengaruhi pendapat Arab mendukung rezim Tel Aviv.
Al-Jazeera melahirkan revolusi media di dunia Arab setelah didirikan pada tahun 1996. Jaringan tersebut bergantung pada sumbangan keuangan negara, diperkirakan lebih dari $ 70 juta per tahun, tetapi tidak menyiarkan acara yang penting mengenai pemerintah Qatar. Akan tetapi, Al-Jazeera menyiarkan program kritik terhadap semua negara Arab lainnya.
Saban memulai keberuntungannya setelah membeli hak untuk memasarkan film seri anak-anak Jepang, "The Power Rangers," di Amerika. Ia adalah pendukung utama Israel dan sayap kanan pemerintah Netanyahu. Di samping itu, pengusaha Yahudi kelahiran Mesir itu terkenal atas kesepakatan-kesepakatan yang ia lakukan di bawah meja.
Milyuner Media itu, yang diperkirakan memiliki kekayaan bernilai lebih dari $ 3 milyar, membawa waralaba Power Rangers ke dunia Arab dan menambah kekayaannya dari mengembangkan dan menjual jaringan kabel Keluarga Fox bersama-sama dengan News Corp. Di Israel, Saban memiliki saham pengendali Bezeq./suaramedia.
0 komentar:
Posting Komentar