Masjid Kaum Cipaganti, atau yang sekarang lebih dikenal sebagai Masjid Raya Cipaganti, Bandung, merupakan saksi sejarah tegaknya Islam di masa pendudukan Belanda Terletak di jalan Cipaganti 85, Masjid Raya Cipaganti merupakan tempat ibadah umat Islam pertama yang berada di kawasan eliat Een Westerns Enclave ( Koloni pemukiman orang Barat).
Sebagian kalangan mengatakan Masjid Raya Cipaganti merupakan sumbangan peradaban Islam di Indonesia, khususnya Bandung, dengan gaya arsitektur Islami yang kental nuansa Jawa-Eropa.
Dibangun pada 11 Syawal 1351 H, atau bertepatan dengan 7 Februari 1933 M, Masjid ini sudah menginjak usia 75 tahun lebih. Inisiasinya muncul dari para Inohong Bandung. Saat itu mereka melihat tidak adanya masjid yang cukup representatif di wilayah Utara Bandung.
Sumber pembiayaan pembangunan masjid didapat antara lain dari bantuan R.A.A. Hasan Soemadipraja, yang juga merupakan salah seorang Inohong Bandung. Disamping itu, terkumpul pula sumbangan golongan bumiputera yang peduli terhadap keberadaan masjid tersebut.
Sebagai satu-satunya masjid yang cukup representatif di zaman Belanda saat itu, karena letaknya yang persis di tepi jalan raya Cipaganti, tentu memiliki daya magnit tersendiri. Jamaah yang datang tidak hanya dari lingkungan sekitar Cipaganti, atau yang dikenal sebagai Banana Street ini.
Tapi juga dari kawasan Dago, ITB (Institut Teknologi Bandung), dan wilayah lainnya.
Kian bertambahnya jamaah, membuat kapasitas Mesjid pun harus ditambah. Maka, tahun 1954, dilakukanlah perluasan di kiri dan kanan bangunan, tanpa merubah bentuk aslinya. Tak berhenti sampai di situ, tahun 1976, renovasi tahap kedua dilakukan untuk lebih disempurnakan.
Keberadaan Masjid Cipaganti pun melecut para aktivis ITB, untuk membangun sebuah masjid di lingkungan kampus mereka, yang kelak dinamai masjid Salman. Menurut Samsoe Basarudin, pada sebuah perbincangan beberapa waktu lalu, seorang pakar ekonomi syariah ITB, pada tahun 60-an, setiap kali hendak shalat, para mahasiswa ITB menuju ke masjid Cipaganti sebagai masjid terdekat.
Letak masjid yang cukup jauh menyebabkan waktu mereka banyak terbuang di perjalanan. Karena Ingin memiliki tempat ibadah seperti masjid Cipaganti-lah akhirnya terwujud pembangunan masjid Salman, yang didukung oleh Soekarno.
Masjid yang dibangun seorang arsitek terkemuka Belanda, Prof. Kemal C.P Wolff Schoemake ini, menggabungkan langgam arsitektur Eropa dan Jawa. Langgam seni bangunan Jawa terlihat pada penggunaan atap tajug tumpang dua. Menurut Drs. H. solihat, Sekretaris DKM (Dewan Keluarga Masjid) Masjid Raya Cipaganti, filosofi atap tajug diasosiasikan sebagai jamaah yang bertumpuk-tumpuk memadati masjid untuk beribadah kepada Allah.
Di tengah ruang shalat, Empat tiang penopang yang dipadukan ukiran lafadz hamdallah dengan warna hijau tosca, perpaduan warna hijau dan biru laut, terlihat begitu indah. Menurut Solihat, warna hijau toska yang menghiasi ukiran tersebut, susah sekali ditemukan sekarang. Langgam arsitektur Jawa lainnya terdapat pada detail ornamen seperti bunga maupun sulur-suluran yang tersebar ditiap ukiran.
Dari segi konstruksi, terlihat jelas langgam arsitektur Eropa. Ini tampak dari penggunaan kuda-kuda segitiga pada interior atap tajugnya (horseshoe arches). Hal lain yang menarik dari bangunan ini adalah lampu gantung bergaya Eropa klasik, yang menggayut di tengah langit-langit ruang utama tempat shalat.
Ciri khas arsitektur Eropa yang mementingkan view, tampak kentara jika dilihat dari arah jalan Sastra di depannya, yang dipenuhi pepohonan rindang. View bangunan masjid yang terbingkai indah dengan rimbunnya pepohonan, menjadi pemandangan yang sungguh luar biasa.
Jika memasuki masjid yang pernah menjadi markas tentara PETA ( Pembela Tanah Air) ini, melalui pintu utama, ada suatu ornamen yang mencuri perhatian. Mata kita langsung disuguhi oleh indahnya tembok relief motif bunga, berwarna hijau. Letak relief ini persis berada di depan pintu utama yang terbuat dari kayu jati. Sekilas, tembok releif ini seperti menghalangi jalan, namun sesungguhnya dibuat sebagai hijab untuk menghalangi pandangan dari luar saat ada yang sedang shalat di dalam.
Uniknya, masjid ini tidak memiliki menara atau kubah selayaknya masjid apa umumnya. Meski demikian, gaungan suara masjid ini bisa terdengar sampai Cihampelas. Apa rahasianya? Ternyata Schoemaker sang arsitek mesjid ini, mendesain suatu ruangan “menara tesembunyi” yang terletak di langit-langitnya. Untuk mencapainya, musti melewati tangga terlebih dahulu.
Oleh Dinas Pariwisata Kota Bandung masjid yang dikategorikan sebagai cagar alam ini diamanahi untuk dijaga dan jangan merubah sedikitpun relief tembok tersebut.
Menurut, dosen agama di STIKES Dharma Husada Bandung, pihak DKM berencana membongkar langit-langit, dan menghidupkan kembali fungsi menara tersebut agar tetap terjaga keasliannya. Dengan adanya masjid bersejarah ini, Drs. H Solihat harap semua pihak dapat bersama-sama terus menjaga keasrian dan kelestariannya. Dan semoga, tambah dia, Masjid Raya Cipaganti yang oleh ketua DKM, Drs. Acep Nurlaeli, M.Ag, sedang direncanakan sebagai masjid percontohan ini bisa terus bertahan hingga ke generasi berikutnya. amin.
Sumber : alhikmahonline
0 komentar:
Posting Komentar