“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS Al-Baqarah:170)
Inilah titik tolak dari keberanian Ir. Achmad Noe’man dalam merombak tradisi tua arsitek pembangunan masjid di Indonesia dan beberapa negara lain yang pernah dijajakinya, dengan tidak memakai kubah dan tiang.
Ir. Achmad Noe’man dilahirkan di Garut, Jumat, 10 Oktober 1925. Ayahnya, H. Muhammad Jamhari adalah seorang saudagar sekaligus pendiri Muhammadiyah Garut. Sebagai ulama Muhammadiyah, H. Jamhari dituntut untuk membangun fasilitas pendidikan, mulai dari bangunan sekolah, asrama sampai masjid. Di saat pembangunan demi pembangunan insfrastruktur pendidikan tadi dimulai, maka Noe’man kecil selalu berada di samping sang ayah. Salah satunya ketika mendirikan masjid Muhammadiyah Lio, jalan Pasar Baru, Garut, Jawa Barat.
Jenjang pendidikan Achmad Noe’man dimulai di HIS (Hollandsch Inlandsche School) –setingkat SD– Budi Priyayi Ciledug, Garut. Kemudian dilanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderweijs) –setingkat SMP— di kota yang sama. Namun karena kekuasaan beralih ke tangan Republik, akhirnya MULO Garut ditutup dan anak ke delapan dari 13 saudara ini memutuskan untuk meneruskan pendidikannya ke MULO Jogjakarta. Selesai dari MULO, ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Muhammadiyah, Jogjakarta.
Sewaktu Achmad Noe’man di Jogjakarta, sang ayah jatuh sakit. “Jangan diberitahu, biarkan dia menyelesaikan sekolah. No’eman itu kalau bisa di mana saja sekolahnya harus cucud (beres). Setelah cucud jangan menjadi PN (Pegawai Negri) tapi harus berdiri sendiri,” ujar Noe’man mengenang wasiat (alm) sang ayah yang disampaikan melalui ibundanya. Tak lama kemudian, H. Jamhari pergi menghadap sang Khalik.
Wajar jika Noe’man kecewa. Ia sangat bersedih kehilangan orang yang dicintainya. “Kenapa saya tidak diberitahu bahwa ayah sakit keras, kan saya bisa pulang,” kenang penulis buku The Mosque as A Community Development Centre saat diberitahu sang ibu bahwa ayahnya telah meninggal. Namun, Noe’man tak mau larut dalam kesedihan. Ia harus bangkit melangkah, tunaikan amanah ayahanda tercintanya.
Sekitar tahun 1948, untuk meraih cita-citanya sebagai arsitek, salah satu pendiri HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Bandung ini, meneruskan pendidikannya ke Universitas Indonesia di Bandung. Namun ternyata, kampus yang menjadi cikal bakal Institut Teknologi Bandung ini tidak menyediakan jurusan Arsitektur. Akhirnya Achmad Noe’man memilih Fakultas Teknik Sipil.
Setahun kemudian, 1949, terjadi penyerahan kekuasaan dari Belanda ke TNI. Kemudian, dibentuklah CPM (Corps Polisi Militer) dan Achmad Noe’man termasuk di dalamnya dengan pangkat Letnan Dua, setelah sebelumnya ia meninggalkan kuliah di Fakultas Teknik Sipil, karena peraturan wajib militer yang dibuat oleh pemerintah saat itu.
Dunia militer dijalaninya hingga tahun 1952, setelah itu Achmad Noe’man kembali ke UI, karena kampus ini telah membuka Fakultas Teknik Sipil, Jurusan Arsitektur. “Kenapa Ayah meninggalkan tentara padahal kesempatan untuk menjadi Jendral itu ada?” Ujar anggota Majelis Arsitek Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) ini, mengutip pertanyaan anak-anaknya dulu. Namun pertanyaan itu kemudian dijawab sendiri oleh anak-anaknya, “Kalau Bapak jadi jendral maka pahlawan yang berhasil dibunuh PKI itu jadi 8 orang,” kenangnya sembari tertawa lepas.
Tahun 1958, Noe’man berhasil menyelesaikan studinya. Semula ia hendak dikirim ke Kentucky, Amerika Serikat, untuk mengambil program Master. Namun ia memilih membuka biro arsitektur Birano (Biro Arsitek Achmad Noe’man), sekaligus mengajar sebagai dosen di ITB.
Di ITB, sebagai seorang muslim, Achmad Noe’man tidak mungkin meninggalkan shalat jamaah yang hukumnya fardhu ‘ain. Sementara di kampus ITB untuk mendirikan masjid dirasa sulit, karena kebanyakan mahasiswa didominasi oleh orang Cina dan Belanda.
Keinginan Noe’man untuk mendirikan masjid di ITB mendapatkan dukungan dari Prof. Khairo Umam, gurunya di ITB. Akan tetapi, Entang Kosasih, Rektor ITB saat itu, beserta Walikota Bandung, Apriana, tidak menyetujui keinginan Achmad Noe’man.
Noe’man muda tak patah arang. Suatu hari ia berkesempatan audiensi dengan Presiden Soekarno yang kebetulan berkunjung ke ITB. Pada pertemuan itu ayah empat anak ini menyampaikan keinginannya untuk mendirikan masjid. Akhirnya Soekarno pun merestui keinginan tersebut.
Tahun 1959, dibuatlah rancangan bangunan masjid tanpa tiang dan kubah di ITB. Tak berapa lama kemudian, sebuah masjid megah tanpa kubah dan tiang itu berdiri tegak di kampus produsen teknokrat itu. Atas instruksi Soekarno, masjid tersebut kemudian diberi nama masjid Salman.
Pendirian masjid tanpa kubah dan tiang bagi mantan Ketua Yayasan Universitas Islam Bandung ini memiliki alasan tersendiri. Masjid yang berkubah harus ditopang oleh pondasi yang kuat. Sedangkan pondasi tidak akan kuat tanpa bantuan dari tiang-tiang yang menyangga bangunan. Bagi Noe’man keberadaan tiang jelas menjadi penghalang shaf-shaf shalat. “Syarat wajib shalat berjamaah, kan harus ber-shaf, bahkan Sayyidina Umar meluruskan shaf itu pakai pedang, nah saya ingat itu,” ujar penulis buku Mosque in Malaysia ini.
Selain masjid Salman ITB, melalui tangan kreatif seorang Achmad Noe’man, lahir pula masjid-masjid lain seperti masjid Al-Furqan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, masjid Al-Markaz Al-Islami di Makassar, masjid At-Tin, Jakarta, serta banyak masjid lainnya.
Tak hanya di dalam negeri, arsitektur masjid karya Achmad Noe’man pun banyak bertebaran di luar negeri. Diantaranya, masjid Istiqlal di Bosnia, masjid renovasi dari bangunan Gereja di Amsterdam, Belanda, serta masjid yang terdapat di Cape Town, Afrika selatan. Diantara arsitektur masjid yang dibangun Achmad Noe’man, terdapat pula peran anaknya, Fauzan. Anak ketiga dari empat saudara ini, menurut Noe’man mewarisi keahlian ayahnya.
Saat ditanya jumlah masjid yang pernah diarsitekinya, Noe’man hanya mengatakan, “Saya lupa menghitungnya!” Namun ia berharap, setiap masjid yang pernah dibuat semoga bisa mengalirkan manfaat bagi umat, dan tentu menjadi jalan baginya untuk meraih ridla Allah. /alhikmahonline.
0 komentar:
Posting Komentar