Dengan diberlakukannya ASEAN China Free Trade Area (ACFTA) sejak 1 Januari 2010 lalu, mau tak mau akan berdampak luas pada masa depan sektor industri di Indonesia. Selain diperkirakan ada jutaan tenaga kerja akan kehilangan pekerjaan, juga berpengaruh pada tidak bisa dijaminnya kehalalan sebuah produk luar.
Kekhawatiran ini disampaikan Ketua LPPOM MUI, Ir. Lukmanul Hakim. Menurutnya, produk makanan yang belum jelas kehalalannya bakal membanjiri pasar Indonesia tanpa ada proteksi.
“Kita khawatir, dengan dibukanya kran ACFTA, Indonesia bakal kebanjiran produk makanan yang belum jelas kehalalannya,” ungkap Ir. Lukmanul Hakim pada hidayatullah pagi tadi (4/1).
Karena itu, dia berharap untuk memproteksi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim dari makanan haram. Perlu dibuat regulasi internal dengan cara halal sebagai border (batasan). “Untuk melindungi masyarakat dari makanan haram, maka harus dibuat regulasi internal dengan cara halal sebagai border,” jelasnya. Sebab, menurutnya, pangan dalam hukum Islam tidak ada kata darurat. Kehalalannya harus betul-betul dijamin.
Lebih jauh, untuk melakukan regulasi itu, menurutnya Indonesia tidak boleh menerapkan standar ganda pada sektor pangan. Baik yang di internal maupun eksternal harus diterapkan satu regulasi halal. “Jika di dalam negeri pemerintah menerapkan regulasi halal, namun tidak untuk barang yang masuk dari luar negeri, maka akan disanksi oleh World Trade Organization (WTO) dengan penarikan produk tersebut,” tegasnya. “Jadi harus memiliki satu standar regulasi saja.”
Dia mengatakan, jika regulasi halal bisa dibuat, setidaknya memberikan kepentingan baik bagi konsumen maupun produsen. Bagi konsumen kehalalan bisa terpenuhi, sedang produsen akan bisa sedikit bernafas lega. Sebab, dalam pasar bebas, hampir seluruh sektor industri dikuasi China. Bahkan, dengan harga lebih murah dan kualitas tinggi, sehingga ditakutkan bisa melumpuhkan industri lokal.
“Nah, dengan adanya regulasi halal, setidaknya, hanya industri pangan halal yang bisa masuk ke Indonesia,” tegasnya.
Lebih jelas, mekanisme halal tersebut bisa dilakukan dengan cara mandatory halal. Konsekuensi dari mandatory itu nantinya seluruh pangan yang masuk harus diidentifikasi labelisasi halal. Dan labelisasi halal nanti akan dilakukan MUI.
Dia mengatakan, dengan adanya sistem tersebut setidaknya akan tercipta kondisi trading (perdagangan) yang tidak free (bebas), tapi fair (adil) dan jelas kehalalanya.
Sementara itu, ekonom Rizal Ramli, pelaksanaan ACFTA atau CAFTA lebih banyak mendatangkan kerugian dibanding manfaat, khususnya terhadap industri manufaktur dan tenaga kerja. Dalam hal ini, CAFTA lebih mengarah pada implementasi prinsip liberalisme yang ugal-ugalan. "Liberalisme ugal-ugalan ini akan merusak ekonomi, “ ujarnya dikutip sebuah koran Jakarta./hidayatullah.
0 komentar:
Posting Komentar