Tantangan demokrasi juga datang dari kelompok-kelompok keagamaan yang kurang toleran terhadap keragaman. Sikap-sikap antagonis yang diperlihatkan lembaga Islam seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap kelompok-kelompok minoritas, seperti Ahmadiyah, mendorong aksi-aksi kekerasan di tengah masyarakat. Seperti dilaporkan Komnas HAM, fatwa-fatwa intoleran yang dikeluarkan MUI telah mendorong terjadinya kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas keagamaan, khususnya Ahmadiyah.
Begitu juga, kelompok-kelompok radikal seperti Front Pembela Islam (FPI), merupakan ancaman bagi kebebasan di tengah masyarakat. Tindakan-tindakan FPI yang mengancam kelompok atau orang yang mereka anggap berseberangan, telah membuat keresahan.
Penyerangan yang mereka lakukan terhadap anggota aliansi umat beragama (AKKBB) di Monas beberapa bulan lalu, merupakan ancaman besar yang datang dari sesama masyarakat.
Pernyataan ini disampaikan tokoh liberal yang juga Deputi Direktur Freedom Institute, Luthfi Assyaukanie, dalam konferensi tentang demokrasi di Asia, Council of Asian Liberals and Democrats (CALD).
Acara yang berlangsung selama dua hari (28-29 November), diselenggarakan di Manila, Filipina. Konferensi mengambil tema “Democracy’s Continuing Struggles in Asia: Countervailing Repression, Intolerance and Opportunism”, menghadirkan pembicara dari kalangan akademisi, think tanks, dan politisi dari beberapa negara di Asia.
Pria yang pernah mendapat undangan ke Israel ini menjadi pembicara untuk mengulas tentang perkembangan demokrasi di Indonesia. Hadir dalam konferensi itu, antara lain Emil Kirjas (Sekjen Liberal International), Neric Acosta (Sekjen Council of Asian Liberals and Democrats), Chia Kwang Chye (Wakil Presiden Parti Gerakan Rakyat Malaysia), dan Rainer Adam (Direktur Regional FNS). Berbicara pada sesi pertama, Luthfi, menyampaikan kertas kerjanya berjudul “Promoting Tolerance to Counter Dogmatism: Indonesia’s Democratic Gains.”
Selain menuduh MUI dan FPI, dalam presentasinya Luthfi menjelaskan tantangan-tantangan demokrasi yang dihadapi Indonesia.
Ia menyebut, tantangan demokrasi yang dihadapi Indonesia saat ini bukan hanya datang dari negara, tapi juga dari masyarakat.
Ada dua tantangan besar yang datang dari negara saat ini yang bisa menghalangi proses demokratisasi di Indonesia. Pertama, praktik-praktik korupsi yang dilakukan lembaga-lembaga negara. Kedua, ancaman terhadap kebebasan pers dengan semakin banyaknya kasus kekerasan terhadap pekerja media.
Lembaga kepolisian merupakan lembaga publik yang paling rentan terhadap korupsi. Konflik antara kepolisian dan KPK yang tengah berlangsung merupakan kulminasi dari problem korupsi yang kompleks dalam lembaga ini.
Menurut Transparansi Internasional Indonesia (TII), selama 2008 kepolisian menempati ranking tertinggi sebagai lembaga terkorup di Indonesia, diikuti bea cukai dan kantor imigrasi. Praktik-praktik korupsi ini semakin menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara. Lemahnya penegakan hukum (rule of law) menjadi sebab utama terus bertahannya praktik-praktik korupsi di negeri ini.
Begitu juga, kasus-kasus kekerasan yang menimpa wartawan, membuat indeks kebebasan pers di Indonesia mengalami penurunan tajam. Pada masa-masa awal Reformasi, menurut Reporters Sans Frontiers, posisi Indonesia cukup baik, yakni menempati ranking ke-57 dari seluruh negara di dunia. Tapi, setelah 10 tahun Reformasi, posisi Indonesia selalu di atas angka 100. Ini berlaku sejak 2004, ketika Soesilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden. Ketidakjelasan sanksi hukum bagi para pelaku kekerasan terhadap pekerja media dianggap sebagai salah satu sebab mundurnya kebebasan pers di negeri ini.
Di tengah dua ancaman itu, Luthfi menegaskan pentingnya memperkuat peran masyarakat dan organisasi-organisasi sipil, baik dalam melakukan pemantauan kepada lembaga-lembaga pemerintah maupun memberikan advokasi kepada masyarakat. Lembaga-lembaga pemantauan seperti Indonesian Corruption Watch (ICW) memainkan peran yang besar dalam mengawasi kinerja pemerintah.
Selain menuduh ormas Islam, Lutfi juga sempat mempromosikan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang disebutnya berperan dalam melakukan advokasi kepada masyarakat untuk bersikap toleran dan menghargai satu sama lain./hidayatullah.
1 komentar:
justru mereka (AKKBB,Ahmadiyah, tokoh liberal dan para 'donaturnya')yang melakukan kekerasan, dan kekerasan yang mereka lakukan lebih sadis daripada kekerasan dengan fisik,yaitu mereka melakukan penyerangan terhadap aqidah Islam!
Posting Komentar