AJI: Fatwa Haram Infotainment Terlalu Ekstrim

JAKARTA- Fatwa haram tayangan infotainment yang dikeluarkan PBNU tidak bisa menghentikan semua tayangan yang berisi seputar selebritis itu. Keputusan PBNU itu dinilai terlalu ekstrim dan berlebihan.

"Semua ada undang-undangnya dan yang lebih berwenang itu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), pihak KPI bisa memperingatkan infotainment kalau-kalau sudah melabrak kode etik. PBNU memang bisa mengeluarkan fatwa infotainment haram ditayangkan tapi tidak bisa menutup tayangan itu," kata Ketua Advokasi Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Megi Mardiono, Minggu (27/12/2009).

Pihak infotainment, kata dia, juga harus melakukan pembenahan terhadap pencarian berita. "Dua hal yang harus dibenahi infotainment. Pertama etikanya, kedua objeknya. Kalau dua hal itu bisa diatasi, saya rasa tidak perlu ada fatwa haram," tambahnya.

PBNU mengeluarkan fatwa haram terhadap tayangan infotainment. Fatwa haram tersebut berdasarkan hasil Musyawarah Alim Ulama NU di Surabaya, Juli 2006 lalu.

Karena itu, PBNU mendesak tayangan infotainment gosip segera dihentikan. Pemberitan yang mengobral masalah pribadi dan keluarga orang bisa berdampak buruk bagi masyarakat.

Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi mengatakan, haram atau tidaknya hukum tayangan infotainment ditentukan oleh isi atau kontennya. Munas Alim Ulama NU di Surabaya, 2006 lalu mengharamkan infotainment yang kontennya berupa gosip, fitnah, dan rumor.

"Infotainment sebagai kerangka program acara dinilai menurut isinya, karena yang bisa dihukumi adalah isi atau contentnya. Kalau isinya gosip, adu domba, mengaduk-aduk ketentraman privacy keluarga, pasti dilarang agama," kata Hasyim Muzadi di Jakarta, Minggu (27/12/2009).
Ulama NU, katanya, tidak mempermasalahkan tayangan infotainment yang positif dan mendidik. "Sungguh indah kalau infotainment berisi pendidikan keluarga sakinah, pendidikan prestisius, dan sebagainya," ungkap mantan Ketua PWNU Jatim ini.

Sayangnya, menurut Hasyim, tayangan infotainment saat ini lebih mementingkan bisnis ketimbang aspek pembangunan moral bangsa. "Saat ini masih banyak menganut 'bisnis info' semata, sehingga 'the bad news is the good news', belum merupakan media enlightment (pencerahan) menuju pembangunan karakter," jelasnya.

Lebih lanjut, Hasyim mengatakan, tayangan infotainment sekarang ini lebih dikendalikan kekuatan uang. "Karena sekarang ini tidak ada yang bisa mengendalikannya kecuali uang/modal dan tampak tidak bersangkut paut dengan national building," katanya.

Dikatakannya, kebebasan yang dianut infotainment belum ada standardisasi keseimbangan antara hak dan tanggung jawab. "Sehingga susah dibedakan antara demokracy dengan democrazy, dan pendapat pun mengikuti pendapatan," kata pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam itu.

Karena dampak negatif media dan tayangan yang tidak mendidik sangat besar terhadap perilaku masyarakat, PBNU akan membawa masalah tersebut ke Muktamar NU ke 32 di Makassar, 22-27 Maret 2010 mendatang.

Dia menambahkan, sebelum membahas infotaiment gosip di Muktamar, PBNU akan menggelar pertemuan yang melibatkan para ulama, pimpinan ormas-ormas Islam, tokoh lintas agama, praktisi pendidikan, cendekiawan, dan budayawan, di Jakarta.

"Akan diadakan orientasi bersama ulama-ulama terkemuka, ormas Islam, serta pandangan lintas agama, beserta para cendekiawan, pendidik, budayawan dan instansi terkait. Harus ada kekuatan moral yang meluruskan arah pembentukan opini publik," pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Umum Pucuk Pimpinan Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa, menegaskan muatan tayangan infotainment memang harus dibatasi karena ada area-area yang tertentu yang tidak pantas diberitakan, yaitu gosip dan privasi orang.

"Ada area-area pada tayangan infotainment yang kemudian hukumnya menjadi haram. Yaitu area-area privasi yang kemudian pada akhirnya menjadi ghibah, rumors bahkan fitnah," tegas Khofifah dalam rilis yang diterima.

Menurut Khofifah, banyaknya area-area privasi dan gosip yang dimasuki infotainment itulah yang membuat ulama NU pada Juli 2006 mengeluarkan fatwa haram pada Munas Alim Ulama di Surabaya. "Memang perlu ada barikade-barikade untuk tayangan infotainment," katanya.

Lebih lanjut, mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan ini mengatakan, media massa seharusnya juga memperhatikan aspek moral, selain aspek bisnis.

"Media tentunya tidak sekadar semata-mata menayangkan sesuatu yang laku dijual, namun juga perlu memperhatikan aspek ideologi dan aspek nilai," katanya.

Karena itu, dia khawatir jika tayangan-tayangan infotainment ghibah ini terus dibiarkan begitu saja tanpa adanya pembatasan, maka akan mereduksi tatanan nilai masyarakat.

"Selain perlunya kesadaran dari pihak media, perlu adanya membangun rembuk bersama antara media dengan elemen-elemen atau majelis-majelis agama dari enam agama yang ada di Indonesia," jelasnya.

Senada dengan pendapat Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, Khofifah berharap Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) segera mengambil inisiatif menggelar rembuk bersama tersebut. "Menkominfo bisa mengambil inisiatif adanya rembu bersama tersebut," tandas Khofifah./suaramedia.

0 komentar:

Posting Komentar