Menurut Ja'far merebaknya aksi teror di negeri ini dikarenakan adanya pemahaman sesat yang dikembangkan oleh sebuah gerakan Islam yang didirikan oleh Hasan al Banna dan Sayid Quthb.
Melalui buku-buku mereka yang beredar luas sejak lama di negeri ini memberi inspirasi radikalisme di kalangan anak-anak muda kampus atau sekolah menengah. Mereka melakukan kajian-kajian (halaqah) dengan anggota pengajian yang terbatas jumlahnya namun sangat masif.
Melalui buku-buku mereka yang beredar luas sejak lama di negeri ini memberi inspirasi radikalisme di kalangan anak-anak muda kampus atau sekolah menengah. Mereka melakukan kajian-kajian (halaqah) dengan anggota pengajian yang terbatas jumlahnya namun sangat masif.
Sayyid Quthb yang tewas di tiang gantungan oleh pemerintah Mesir merupakan pemikir gerakan Ikhwanul Muslimin. Banyak bukunya yang memberi inspirasi dakwah kepada ummat Islam seluruh dunia. Diantaranya adalah buku Fi Zhilalil Qur-an yang banyak diterbitkan di Indonesia. Begitu juga buku-buku yang ditulis oleh Hasan al Banna menjadi pegangan wajib para aktifis muda.
Oleh karena itu menurut Ja'far dalam wawancaranya meminta kepada pemerintah untuk tidak hanya bertindak represif dalam menangani terorisme karena terkadang harganya sangat mahal, tetapi yang lebih penting adalah menarik dari peredaran buku-buku yang menumbuhkan semangat radikalisme tersebut, dan juga mengawasi dengan ketat pengajian-pengajian yang berbentuk halaqah (pengajian kelompok kecil).
Menurut Djafar, merebaknya aksi teror ini disebabkan karena adanya pemahaman yang salah. Buku-buku yang dia maksud banyak melahirkan kesesatan.
Usulan pelarangan terhadap buku Sayyid Quthb ini memang bukan hal baru. Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dalam wawancara dengan sebuah majalah berita mingguan meminta aparat intelijen meneliti buku-buku karya cendekiawan Muslim Sayyid Quthb dan Hasan Al-Banna. Hal itu pula yang diusulkan oleh mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), AM Hendropriyono. Sementara Departemen Agama membentuk Tim Penanggulangan Terorisme (TPT) untuk mengkaji makna “jihad”.
Akibat dari pernyataannya itu menimbulkan beragam komentar dari kalangan aktifis. "Apa beliau tidak ingat saat berada di Ambon dan Poso. Bagaimana hebatnya beliau berjuang bersama para pemuda yang kini dicurigai sebagai teroris. Apalagi beliau tanpa ragu-ragu menegakkan hukum rajam terhadap pezina," ujar seorang aktifis yang tidak mau disebut namanya. "Aah beliau cuma mau mengalihkan kecurigaan pemerintah (intelijen) yang beberapa kali menyebut gerakan wahabi sebagai sumber radikalisme, tapi kenapa dialihkannya kepada yang lain dengan sebutan kaum khawarij, padahal yang dituduhnya itu adalah sebuah gerakan Islam yang diterima di seluruh dunia sejak dulu."
Sementara itu Ahmad Soemargono atau yang lebih akrab dipanggil bang Gogon ketika dimintai komentarnya oleh voa-islam.com mengatakan bahwa komentar Ja'far Umar Thalib seperti itu mestinya tidak perlu muncul karena hanya akan menyinggung perasaan kelompok lain yang notabene saudaranya sendiri. "Cobalah kita sering-sering bersilaturrahim. Ummat ini sudah terlalu lemah karena berpecah-belah, janganlah dibuat hancur lebur"
Namun salah satu tokoh pendiri Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Abu Ridho, Lc mengaku heran. “Buku-buku Sayyid Quthb sudah beredar sejak tahun 80-an. Namun sampai hari ini, tak ada ulama dunia mana pun keberatan, apalagi menganjurkan pelarangan. Apalagi mencaci-maki. Jika ada yang salah, pasti sejak dahulu ulama sudah melarangnya,” katanya.
Bahkan, menurutnya, sejak tahun 80-an buku-buku Sayyid Quthb bisa diperoleh secara bebas di Saudi Arabiyah. “Saat masih mahasiswa, saya bahkan mendapat hadiah buku-buku Sayyid Quthb dari lembaga resmi pemerintahan Saudi,” ujarnya. “Apakah saat itu, banyak ulama besar kita yang tak mengerti bahasa Arab?” tambahnya./voaislam.
0 komentar:
Posting Komentar