Ini Cara Penagihan Utang Versi Bank Syariah

Penggunaan jasa pihak ketiga atau penagih utang (debt collector) dalam menagih utang atau pinjaman nasabah bank sedang menjadi sorotan. Bahkan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sampai harus memanggil Bank Indonesia dan sebuah bank asing untuk meminta penjelasan terkait meninggalnya seorang nasabah setelah menanyakan tagihan kartu kreditnya.
Seperti diketahui, sorotan mengenai debt collector kembali muncul setelah adanya kasus nasabah Citibank, Irzen Octa yang meninggal dunia, setelah mempertanyakan jumlah tagihan kartu kredit yang membengkak hingga Rp100 juta.

Menurut korban, tagihan kartu kreditnya semula hanya Rp48 juta. Tidak mendapat penjelasan mengenai hal itu, korban justru dibawa ke ruang bagian penagihan dan dipaksa oleh tiga tersangka untuk membayar. Tiga orang ditetapkan jadi tersangka.
BI memang memperbolehkan bank menggunakan jasa ketiga untuk penagihan kredit. Hal itu tercantum dalam Surat Edaran BI No.11/10/DADP Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. Dalam halaman 38 disebutkan penerbit kartu yang menggunakan jasa pihak lain dalam melakukan penagihan transaksi kartu kredit dapat dilakukan, pertama, jika kualitas tagihan kartu kredit telah termasuk kolektibilitas diragukan atau macet.

Kedua, penagihan pihak lain dilakukan dengan cara yang tidak melanggar hukum. Ketiga, dalam perjanjian kerja sama antara penerbit dan pihak lain untuk melakukan penagihan transaksi kartu kredit tersebut harus memuat klausul tentang tanggung jawab penerbit terhadap segala akibat hukum yang timbul akibat dari kerja sama dengan pihak lain.
Nah, bagaimana dengan mekanisme penagihan di bank syariah bila terjadi kasus kredit macet atau pinjaman yang bermasalah?
Berikut penuturan Direktur Utama Bank Syariah Bukopin, Riyanto dan Direktur Utama Bank Mega Syariah, Beny Witjaksono saat dihubungi VIVAnews.com di Jakarta, Rabu 6 April 2011.

Menurut Riyanto, bila terjadi kredit atau pinjaman bermasalah, Bukopin Syariah memilih tidak menggunakan jasa debt collector dalam penagihan. Namun, perusahaan menempuh beberapa cara seperti memberi surat pemberitahuan, surat penagihan hingga tiga kali, dan dilanjutkan surat peringatan sampai tiga kali.

"Kalau masih susah juga, kami akan tempuh melalui jalur hukum. Yaitu, memanggil nasabah melalui pengadilan. Jika tidak ada tanggapan, kami minta pengadilan untuk menyita aset yang dijaminkan. Setelah disita, baru kami lelang," ujarnya.

Namun, Riyanto mengatakan, bila harus menggunakan jasa debt collector, pihaknya akan melakukan kesepakatan dengan pihak tersebut, yakni tidak memilih menggunakan kekerasan atau intimidasi yang bisa menyebabkan korban di pihak nasabah. Sebab, bila hal itu terjadi, tentunya yang rugi adalah pihak bank. "Kan yang jelek, ya banknya sendiri tentunya," kata dia.

Sementara itu, Beny menuturkan, Bank Mega Syariah memang menggunakan jasa debt collector. Namun, penagih utang tersebut bukan dari pihak ketiga. "Bila ada kredit bermasalah dalam pinjaman makro, kami memang menggunakan jasa debt collector. Tapi, mereka adalah karyawan resmi Bank Mega Syariah," ujarnya.

Tentunya, dia menambahkan, debt collector tersebut selalu mengedepankan negosiasi dan prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan Bank Mega Syariah dalam penagihan pinjaman.

"Tapi, mereka (debt collector) kami tunjuk kalau nasabah sudah susah diajak kompromi. Sebab, kami selalu mendahulukan pemberitahuan lebih dulu melalui telepon maupun surat. Bahkan, saat mendatangi mereka, kami ajak mencari solusi bersama seperti jangka waktu cicilan diperpanjang atau diperkecil sesuai kemampuan," tutur Beny.

Beny juga menuturkan, hal tersebut dilakukan agar si nasabah tetap melakukan kewajibannya dalam membayar pinjaman. "Apalagi, yang namanya utang itu kan harus dibayar sampai kapan pun," kata dia. (vivan)

0 komentar:

Posting Komentar