Pelajar Palestina Takkan Lupa Siksaan Israel

Indonesia selalu mendukung kemerdekaan bangsa Palestina untuk mencapai kemerdekaan. Dukungan itu diungkapkan dengan banyak pernyataan dan aksi.
Salah satu bentuk dukungan adalah dengan mengadakan acara Hari Palestina, Jumat 8 Januari 2010, di Lembaga Bahasa dan Pendidikan Profesional LIA, Pangadegan, Jakarta.

Dua mahasiswa Palestina, yang belajar bahasa Indonesia di sekolah bahasa LIA, mengungkapkan situasi di Palestina, mulai dari sejarah hingga pendudukan Israel, termasuk mengenai pengungsi dan pembangunan pemukiman Israel di wilayah Palestina. Semua diungkapkan dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar.
Di akhir acara, salah seorang mahasiswa asal Palestina, Abdallah Barghouithi, menceritakan kisahnya ketika pasukan Israel menangkap dan menahannya selama 50 hari seputar kegiatan politiknya bersama kelompok Fatah.
"Mereka mengidentifikasi saya sebagai aktivis mahasiswa yang masuk dalam Partai Fatah. Saya dianggap punya informasi mengenai partai yang saya dukung," kata Abdallah, yang dikenal sebagai aktivis di Kota Ramallah, Tepi Barat.

Penangkapan terhadap anak pertama dari enam bersaudara ini dilakukan di rumah keluarganya di Ramallah. Ketika ditahan, dia mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari pasukan Israel, seperti dipukuli dan kedua tangannya juga selalu diborgol.
Abdallah dibebaskan setelah 50 hari mendekam di tahanan Israel. "Saya dibebaskan karena tetap tutup mulut, tidak memberikan informasi kepada mereka," turut Abdallah.
Kini, untuk sekian lama, dia tidak perlu khawatir dengan kejaran pasukan Israel dan berkesempatan menimba ilmu di luar negeri.

Mahasiswa yang berhasil meraih gelar sarjana di bidang sosiologi dari Universitas Beirut, Lebanon, ini terpilih untuk belajar bahasa Indonesia di Jakarta. Mahasiswa berusia 25 tahun tersebut belum akan kembali ke Palestina setelah menyelesaikan studi di Jakarta.

Pasalnya, dia akan bergabung dengan departemen luar negeri Palestina, dan akan ditempatkan di Indonesia. "Tapi bisa saja saya ditempatkan di negara lain," kata Abdallah.

Dia juga mengenang kesulitan yang dia alami ketika hendak keluar dari wilayah Palestina untuk berangkat ke Indonesia. "Di sana banyak sekali pos pemeriksaan. Boleh tidaknya kita keluar dari sana ditentukan oleh 'mood' orang yang memeriksa kita," katanya.

Keluarganya sendiri saat ini relatif hidup aman di Palestina. Salah seorang adiknya bekerja sebagai guru, dan lainnya masih bersekolah.

Dalam acara bertema "Situasi Kemanusiaan Palestina" itu, duta besar Palestina untuk Indonesia, Fariz Nafi' Atieh Mehdawi, mengungkapkan kebanggaannya melihat para mahasiswa tersebut memberikan presentasi dalam bahasa Indonesia. "Momen ini mengingatkan kami tentang komitmen masyarakat Indonesia dalam membantu masyarakat Palestina," kata Mehdawi.

Sementara itu, Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Departemen Luar Negeri, Darmansjah Djumala, menetapkan program Hari Palestina merupakan hari perayaan Palestina yang ditetapkan oleh Resolusi PBB 1977.

Acara Hari Palestina ini merupakan kelanjutan dari nota kesepahaman (MoU) mengenai kerja sama di bidang pendidikan dan pelatihan diplomat Palestina. Sejauh ini Indonesia telah mengadakan pelatihan diplomatik bagi sepuluh pejabat Palestina pada 2008 dan pelatihan diplomatik senior bagi lima duta besar Palestina pada 2009.

"Saat ini soft power lebih dibutuhkan karena orang Palestina sudah jago dan terlatih dalam militer," kata Darmansjah./viva

0 komentar:

Posting Komentar