Saudi: AS Harus Akui Kecanduan Minyak Arab

RIYADH - AS tidak memiliki alternatif lain pengganti minyak untuk dapat memenuhi dahaga negeri Paman Sam tersebut akan energi yang begitu besar. Oleh karena itu AS harus mengakui ketergantungan energinya terhadap Timur Tengah, demikian tulis pangeran Arab Saudi, Turki al-Faisal.

Presiden AS Barack Obama telah mendorong penggunaan energi hijau guna memangkas emisi gas panas dan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Dalam kampanye pemilihan presiden AS lalu, Obama mengemukakan sejumlah isu yang cukup mengganggu Saudi, seperti mengakhiri ketergantungan akan minyak Timur Tengah.

Dalam artikel yang diterjemahkan ke dalam bahasa Italia dan diterbitkan oleh surat kabar Italia, Il Sore 24 Ore, Pangeran Turki mengatakan bahwa independensi energi adalah sebuah konsep yang tidak realistik, tidak berdasar, dan berbahaya bagi negara-negara produsen dan konsumen energi, yang kemungkinan akan banyak dipertimbangkan ketika pemulihan krisis ekonomi mendorong harga minyak dan menjadikannya lebih melambung.

“Untuk memenuhi kebutuhan kolosal AS dalam bidang industri, transportasi, dan angkatan bersenjata, tidak ada teknologi apapun di dunia ini yang dapat menggantikan minyak. Skenario macam apapun di masa depan akan terdiri dari campuran penggunaan energi yang tidak dapat diperbaharui dengan energi yang dapat diperbaharui, tidak peduli apakah kalian (AS) menyukainya atau tidak,” kata Turki.

“Tuntutan politik bagi AS untuk “menyapih” diri dari minyak impor seringkali ditunjukkan lebih dari sekedar isyarat, hal tersebut untuk menyatakan bahwa AS memiliki ketergantungan yang berbahaya terhadap negara saya, Arab Saudi, yang selalu dipersalahkan untuk segala hal, mulai dari terorisme global hingga tingginya harga bahan bakar,” katanya.

Kritikannya dilancarkan pada saat Senat AS tengah memproses rancangan undang-undang energi dan lingkungan yang ditujukan untuk membatasi jumlah gas rumah kaca yang diperbolehkan bagi industri-industri skala besar.

Turki, seorang mantan kepala dinas intelijen dan duta besar untuk Washington dan London, mengatakan bahwa AS, negara konsumen energi terbesar di dunia, harus mengesampingkan retorika independensi energi, pangeran Saudi tersebut menyarankan agar AS sebaiknya mengakui ketergantungannya terhadap energi.

“Suka atau tidak, takdir Arab Saudi dan AS masih tetap terikat dan akan tetap (terikat) selama berpuluh-puluh tahun ke depan,” katanya.

Dengan melancarkan kritikan khusus terhadap Obama yang pernah mengatakan bahwa minyak asing “membiayai para diktator, nuklir, dan menddanai kedua sisi dari perjuangan melawan terorisme,” pangeran Saudi tersebut memperjelas bahwa Riyadh sudah kehilangan kesabaran terhadap sikap tidak hormat yang ditunjukkan Washington.

AS merupakan rekanan dagang terbesar bagi negara jazirah Arab pengekspor minyak terbesar di dunia tersebut.

Perdebatan sudah dimulai, setidaknya sejak bulan Maret, ketika menteri perminyakan Saudi, Ali al-Naimi, mengatakan kepada negara-negara Barat yang menjadi konsumen energi agar tidak mengabaikan minyak.

Namun, ini adalah pertama kalinya seorang anggota kerajaan Saudi yang menyuarakan sendiri ketidaknyamanan negaranya terhadap gelombang retorika anti-Arab yang berasal dari AS. Namun Obama bukan satu-satunya politisi utama AS yang menyuarakan diskriminasi terhadap “minyak Arab”. Pandangan-pandangan dari partai oposisi Obama justru jauh lebih keras.

Pasca peristiwa 11 September 2001, retorika tersebut mungkin merupakan kebijakan energi yang diharuskan bagi setiap kandidat presiden yang ingin terpilih. Namun, dengan berakhirnya perburuan kursi kepresidenan, dipertanyakan mengenai perlunya untuk tetap menabuh genderang anti-Arab.

Obama kini seolah sedang terperangkap. Seruan independensi energinya kepada tentara AS, menjadi tangisan bagi puluhan juta warga Amerika yang ingin membangkitkan kembali ekonomi AS melalui dorongan terhadap energi bersih.

Namun menarik jurang yang dalam terhadap prasangka buruk atas segala hal yang berbau asing demi melapangkan jalan adalah sebuah permainan yang berbahaya, seperti yang sudah disadari oleh presiden AS tersebut. Akan tetapi mengubah jalur yang ditempuh AS adalah sebuah hal yang sulit, seiring reaksi publik terhadap segala sesuatu yang berbau Arab pasca peristiwa 11 September.

Salah satu dari sedikit warga AS yang mendorong terciptanya hubungan konstruktif dengan para produsen minyak di Arab adalah Dr. Edward Morse, direktur pengelola Louis Capital Markets. “Dialog energi antara AS dan Saudi – yang telah ditelantarkan oleh Washington selama bertahun-tahun – perlu disegarkan kembali,” tulisnya di Foreign Affairs.

“Karena Arab Saudi memiliki kapasitas produksi yang begitu besar, yang menjadi alat-alat untuk memajukan tujuan-tujuan politik dan ekonomi Washington, maka seharusnya menjadi lebih mudah untuk membuat hubungan antara kedua negara menjadi lebih baik dan menciptakan komunikasi dalam tingkatan yang lebih tinggi mengenai pasar minyak dan keadaan politik ekonomi global.”

Prospek pertumbuhan tuntutan energi yang lebih moderat dapat menciptakan peluang-peluang bagi pemerintahan Obama untuk membuat pasar energi menjadi tidak terlalu rentan dan mengatur kembali kesepakatan dengan negara-negara produsen (minyak) yang dapat memenuhi kebutuhan jangka panjang AS dengan lebih baik,” kata Dr. Morse.

“Namun untuk melakukan hal tersebut, Washington harus turut mengembangkan strategi energi internasional seperti halnya yang dilakukan (AS) terhadap lingkungan domestik dan program-program energinya.”

Dr. Morse dan Pangeran Turki sama-sama menyetujui bahwa hampir hilangnya kapasitas cadangan produksi Saudi adalah faktor yang telah mendorong naiknya harga minyak mentah antara tahun 2003 hingga tahun lalu./suaramedia.



0 komentar:

Posting Komentar