JAKARTA--40 Tahun yang lalu, seorang pemuda asal Jombang membuat geger Indonesia terkait pandangannya tentang politik dan keislaman. ‘Islam yes, Partai Islam no’. Kira-kira begitulah kata yang terucap dari bibirnya.
Pemuda tersebut tak lain adalah Nurcholis Madjid atau yang akrab dipanggil Cak Nur. Ia merupakan cendikiawan muslim yang lahir dari keluarga politisi islam. Ayahnya tak lain merupakan politisi dari salah satu partai muslim di Indonesia, Masyumi.
Kata-kata itu bukannya begitu saja keluar dari bibir Cak Nur, terlebih ayahnya sendiri merupakan politisi partai Islam. Menurut Sejarawan yang juga merupakan orang dekat Cak Nur, Taufik Abdullah, pandangan Nurcholis Madjid terbentuk lewat proses pemikiran panjang.
Pemikiran Cak Nur turut pula di dasari oleh kondisi zaman saat itu, dimana banyak partai Islam yang berkiprah di dunia perpolitikan nasional. Sayangnya, kiprah dari partai Islam tersebut tidak selamanya sesuai dari kaidah dan moralitas keagamaan. Hal ini memunculkan kegalauan di benak masyakarakat, tak terkecuali Nurcholis muda
”Pemikiran Cak Nur sebenarnya bukan sesuatu yang baru, jauh sebelumnya, banyak tokoh-tokoh yang sudah memiliki pemikiran yang sama. Namun apa yang diucapkannya 40 tahun yang lalu itu tepat dengan situasi zaman. Sehingga muncul lah apa yang di sebut pembaruan Islam,” ujar taufik Abdullah, saat memberikan pidato dalam seminar ’40 Tahun Pembaruan Islam’, Kamis (7/01).
Pandangan yang di sampaikan Cak Nur hampir bertepatan dengan momen pemilu tahun 1971. Entah kebetulan atau tidak, pandangan Cak Nur, nampak sejalan dengan apa yang ada di benak masyarakat. ini dapat di lihat dari hasil pilihan masyarakat dalam pemilu 1971.
Hasil pemilu menujukkan partai islam mengalami kekalahan telak. Ini pun menjadi akhir perjalanan panjang partai-partai islam sejak tahun 1955. Sebaliknya ini menjadi awalan bagi pembaruan Islam di Indonesia.
”Sejarah sebenarnya bisa terjadi hanya lewat dari pernyataan sederhana. Selogan 'Islam yes, Partai Islam no', sebenarnya tidak ada suatu makna istimewa atau filosofis. Kata tersebut sangat sederhana. Namun karena kata tersebut keluar di tengah gonjang-ganjing masyarakat. Di tambah lagi orang yang mengatakannya berasal dari kalangan keagamaan, menyatulah kedua hal ini. Ini pun menjadi pertanda dari sebuah pembaruan pandangan di masyarakat,” jelas Taufik.
Kini yang menjadi pertanyaan, apakah kata tersebut masih relevan jika di kaitkan dengan kondisi saat ini. Terlebih, di beberapa periode setelah itu, Cak Nur nampak telah "berdamai" dengan partai Islam.
Aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Abshar Abdalla, mengatakan, pandangan Cak Nur sebenarnya merupakan sebuah deskripsi zaman tersebut. Ulil berpendapat, kata-kata Cak Nur bukan di maksudkan untuk mempertentangkan politik dan Islam. Menurut Ulil, kata yang di keluarkan Cak Nur, merupakan bentuk kritik terhadap apa yang terjadi di partai Islam tahun 1970 an
”Sebenarnya pernyataan Cak Nur saat itu, adalah bentuk desripsi zaman. Cak Nur saat itu memberikan suatu pandangan tentang Islam yang substansial, bukan yang bergantung pada simbol saja. Jadi jika di kaitkan dengan sekarang masih ada relevansinya,” ujarnya.
Menurut Ulil, Islam dan politik bisa seiring sejalan. Namun ia berpendapat, penyimbolan islam dalam bentuk partai bukanlah merupakan langkah maju. Menurutnya, akan lebih ideal jika Islam menampu memperlihatkan substansinya di banding memperlihatkan bentuknya sebagai partai Islam.
”Ibarat filosofi gula dalam air, ia tidak kelihatan bentuknya namun terasa manisnya. Begitu juga dengan Islam dan politik, Islam mampu mengaplikasikan nilai-nilainya tanpa harus memperlihatkan bentuknya sebagai suatu partai,” ujarnya./republika.
Pemuda tersebut tak lain adalah Nurcholis Madjid atau yang akrab dipanggil Cak Nur. Ia merupakan cendikiawan muslim yang lahir dari keluarga politisi islam. Ayahnya tak lain merupakan politisi dari salah satu partai muslim di Indonesia, Masyumi.
Kata-kata itu bukannya begitu saja keluar dari bibir Cak Nur, terlebih ayahnya sendiri merupakan politisi partai Islam. Menurut Sejarawan yang juga merupakan orang dekat Cak Nur, Taufik Abdullah, pandangan Nurcholis Madjid terbentuk lewat proses pemikiran panjang.
Pemikiran Cak Nur turut pula di dasari oleh kondisi zaman saat itu, dimana banyak partai Islam yang berkiprah di dunia perpolitikan nasional. Sayangnya, kiprah dari partai Islam tersebut tidak selamanya sesuai dari kaidah dan moralitas keagamaan. Hal ini memunculkan kegalauan di benak masyakarakat, tak terkecuali Nurcholis muda
”Pemikiran Cak Nur sebenarnya bukan sesuatu yang baru, jauh sebelumnya, banyak tokoh-tokoh yang sudah memiliki pemikiran yang sama. Namun apa yang diucapkannya 40 tahun yang lalu itu tepat dengan situasi zaman. Sehingga muncul lah apa yang di sebut pembaruan Islam,” ujar taufik Abdullah, saat memberikan pidato dalam seminar ’40 Tahun Pembaruan Islam’, Kamis (7/01).
Pandangan yang di sampaikan Cak Nur hampir bertepatan dengan momen pemilu tahun 1971. Entah kebetulan atau tidak, pandangan Cak Nur, nampak sejalan dengan apa yang ada di benak masyarakat. ini dapat di lihat dari hasil pilihan masyarakat dalam pemilu 1971.
Hasil pemilu menujukkan partai islam mengalami kekalahan telak. Ini pun menjadi akhir perjalanan panjang partai-partai islam sejak tahun 1955. Sebaliknya ini menjadi awalan bagi pembaruan Islam di Indonesia.
”Sejarah sebenarnya bisa terjadi hanya lewat dari pernyataan sederhana. Selogan 'Islam yes, Partai Islam no', sebenarnya tidak ada suatu makna istimewa atau filosofis. Kata tersebut sangat sederhana. Namun karena kata tersebut keluar di tengah gonjang-ganjing masyarakat. Di tambah lagi orang yang mengatakannya berasal dari kalangan keagamaan, menyatulah kedua hal ini. Ini pun menjadi pertanda dari sebuah pembaruan pandangan di masyarakat,” jelas Taufik.
Kini yang menjadi pertanyaan, apakah kata tersebut masih relevan jika di kaitkan dengan kondisi saat ini. Terlebih, di beberapa periode setelah itu, Cak Nur nampak telah "berdamai" dengan partai Islam.
Aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Abshar Abdalla, mengatakan, pandangan Cak Nur sebenarnya merupakan sebuah deskripsi zaman tersebut. Ulil berpendapat, kata-kata Cak Nur bukan di maksudkan untuk mempertentangkan politik dan Islam. Menurut Ulil, kata yang di keluarkan Cak Nur, merupakan bentuk kritik terhadap apa yang terjadi di partai Islam tahun 1970 an
”Sebenarnya pernyataan Cak Nur saat itu, adalah bentuk desripsi zaman. Cak Nur saat itu memberikan suatu pandangan tentang Islam yang substansial, bukan yang bergantung pada simbol saja. Jadi jika di kaitkan dengan sekarang masih ada relevansinya,” ujarnya.
Menurut Ulil, Islam dan politik bisa seiring sejalan. Namun ia berpendapat, penyimbolan islam dalam bentuk partai bukanlah merupakan langkah maju. Menurutnya, akan lebih ideal jika Islam menampu memperlihatkan substansinya di banding memperlihatkan bentuknya sebagai partai Islam.
”Ibarat filosofi gula dalam air, ia tidak kelihatan bentuknya namun terasa manisnya. Begitu juga dengan Islam dan politik, Islam mampu mengaplikasikan nilai-nilainya tanpa harus memperlihatkan bentuknya sebagai suatu partai,” ujarnya./republika.
0 komentar:
Posting Komentar