Polemik Khittah Nahdlatul Ulama

(wartaislam.com) Isu yang selalu mengemuka menjelang Muktamar Nahdlatul Ulama adalah soal khittah. Kali ini, isu khittah dikaitkan dengan aktivitas politik Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi.

Hasyim dikenal dengan manuvernya menjadi calon wakil presiden pada 2004 dan kalah. Pada 2009, Hasyim juga secara terbuka memberi dukungan kepada calon presiden Jusuf Kalla. Lagi-lagi pilihan politiknya kalah.

Tindakan Hasyim ini dinilai tidak sesuai dengan khittah NU. Ketua PBNU KH Masdar Farid Mas’udi yang juga salah satu tokoh yang maju sebagai ketua umum mengatakan berbagai manuver politik praktis justru merugikan NU. Dia mengatakan akibat manuver personal pimpinan NU membuat ada persepsi yang tidak sama antara warga NU dengan pimpinannya. “Di bawah terjadi demoralisasi, umat memutus link dengan kehendak elit,” katanya.

Masdar mengatakan ini terjadi karena dalam 10 tahun terakhir NU mulai berpolitik praktis bahkan transaksional. Ke depan, hal ini harus dibenahi secara serius. Dia mengatakan NU harus kembali ke khittahnya yaitu melayani umat bukan mengejar kekuasaan. “Khittah NU itu kembali ke umat dan melayani umat, bukan matanya hijau ke atas melihat kekuasaan,” katanya.

Sementara Tokoh NU KH Said Hudairy mengatakan gerakan kembali ke khittah dibuat karena elit NU saat itu sibuk berpolitik dan lupa mengurus organisasi. “Seolah-olah saat itu NU pindah kantor ke Senayan, soalnya semuanya fokus ke sana,” ujarnya.

Said mengatakan bersama beberapa anak muda termasuk Gus Dur dan Kiai Sahal melakukan gerakan pembenahan. Lalu dirumuskan pula khittah NU yang jadi acuan sampai saat ini.

Merasa terus dipojokkan dengan wacana khittah yang dihubungkan dengan aktivitas politik praktisnya, Hasyim Muzadi akhirnya angkat bicara soal wacana khittah. Dia mengatakan masalah khittah tidak hanya soal politik semata.

”Melanggar khittah itu nggak hanya rangkap jabatan di partai politik atau soal politik saja. Yang liberal dan ektrim kanan juga bertentangan dengan khittah,” kata Hasyim, yang tampak menanggapi Masdar yang di lingkungan NU dikenal berpikiran liberal.

Hasyim mengatakan selama ini banyak pemikitan liberal dan ekstrem yang sebenarnya juga tidak sesuai khittah. Visi NU dan manhaj perjuangan NU menggunakan garis moderasi, tidak ekstrem keras dan tidak ekstrem lunak. Karena itu, ekstremisasi agama dan liberalisasi pemikiran bertentangan khittah, bahkan keluar dari prinsip-prinsip ajaran NU.

Menurut Hasyim, khittah NU terdiri dari tiga bagian penting yaitu pertama, bagian yang mengatur jati diri NU. ”Bahwa NU menganut ajaran Islam Ahlus Sunnah Waljamaah. Fikihnya menganut salah satu dari Imam empat. Dalam bidang tasawuf mengikuti Junaid Al Baghdadi dan Imam Ghazali. Dalam bidang Aqidah mengikuti Al Asy’ari dan Al Maturidi,” ujarnya.

Maka dari itu, ekstremisasi agama dan liberalisasi pemikiran sama-sama melanggar khittah, karena bertentangan dengan visi NU dan manhaj perjuangan NU. Bahkan, jika tidak sesuai dengan dengan jati diri NU, bisa keluar dari prinsip-prinsip ajaran NU.

Khittah bagian kedua, katanya berkaitan dengan kemandirian NU. Menurutnya, NU adalah organisasi mandiri, tidak merupakan bagian apapun, baik ormas maupun partai. Dalam bidang sosial kenegaraan, NU menjadi organisasi amar ma’ruf nahi mungkar. Tidak merupakan bagian dari birokrasi pemerintahan, tidak pula merupakan oposisi terhadap kekuasaan. ”Jadi NU memperkuat yang benar bukan hanya membenarkan yang kuat,” katanya.

Khittah bagian ketiga, lanjutnya, berkaitan dengan kebebasan menentukan pilihan. Saat khittah dilahirkan tahun 1984, katanya, warga NU hanya memilih satu dari tiga partai, dan tidak memilih orang. Dalam proses selanjutnya, tahun 1998, PBNU menfasilitasi lahirnya PKB, dan sekarang ini ada 38 partai. ”Selain itu, kita tidak hanya memilih partai, tapi juga memilih orang,” ujar Hasyim.

Menurutnya, khittah kini sedang disalahpahami oleh warga NU sendiri. Seakan-seakan khittah yang benar, adalah tidak berbuat apa-apa. Padahal itu sama dengan membuka peluang orang lain untuk mengatur NU atas nama khittah. “Sementara kalau pimpinan NU mengatur umatnya sendiri dianggap tidak khittah,” ujarnya.

Pengasuh pondok pesantren Al Hikam ini berharap, Muktamar NU ke-32 di Makassar nanti dapat merespons perkembangan politik yang sangat cepat ini. Kebebasan memilih warga  NU harus diseimbangkan dengan tanggung jawab memilih. Khittah sebagai patokan NU tidak perlu diubah, namun soal kebebasan memilih perlu penjabaran dalam tata laksananya.

”Antara kebebasan memilih dan tanggung jawab dalam memilih diperlukan ukuran-ukuran demi kemaslahatan NU. Kalau tidak, kita akan memilih secara sembarangan, termasuk memilih pihak yang kalau besar dan kuat akan menggusur NU. Tanggung jawab dalam memilih, termasuk tanggung jawab kita kepada agama, umat dan Allah,” ujarnya.
sumber : viva 
foto : antara

0 komentar:

Posting Komentar